Mewujudkan Kejayaan Pariwisata Kepulauan Nias

Ketika mendengar kata Nias maka sering dicitrakan sebagai lompat batu (hombo batu), tari perang (faluaya) dan selancar (surfing). Pasca pemekaran daerah yang membuat Nias atau kini lebih dikenal sebagai kepulauan Nias menjadi 5 (lima) Daerah Otonomi Baru (DOB) yakni Kabupaten Nias, Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten Nias Utara, Kabupaten Nias Barat dan Kota Gunungsitoli, ketiga citra tersebut masih melekat kuat.

Dalam dunia pemasaran, pencitraan (branding) suatu produk atau jasa merupakan suatu keharusan dan merupakan unsur penting dalam memenangi persaingan pasar selain kualitas produk atau jasa yang ditawarkan itu sendiri, sesuatu modal awal bagi industri pariwisata kepulauan Nias yang mencoba bangkit kembali.

Pantai Lagundri cocok untuk berenang, berjemur tanpa takut dihajar ombak. Sementara, Pantai Sorake yang bersebelahan cocok buat surfing. Photo by: Kris Mendrofa

Kepulauan Nias sudah mulai didatangi wisatawan mancanegara sejak tahun 1975, ketika beberapa peselancar (surfer) dari Australia menemukan lokasi/titk selancar (spot) di Sorake. Sejak saat itu, ombak di pantai Sorake dikenal sebagai salah satu yang terbaik di dunia dan menjadi primadona baru peselancar profesional dari berbagai negara, bahkan pada dekade 1990an, kompetisi selancar di pantai Sorake masuk dalam kalender kompetisi selancar internasional. Belakangan, ditemukan beberapa lokasi selancar yang tersebar di berbagai lokasi di kepulauan Nias sebut saja di pulau Tello, kepulauan Hinako, di Afulu dan beberapa titik lainnya.

Rasanya, untuk kalangan peselancar tidak lengkap kalau belum menaklukan ombak Sorake dan ombak kepulauan Nias secara umum yang di kalangan peselancar disebut sebagai ombak legendaris, hal ini bisa dibuktikan ketika mengetik kata “Nias surfing” di kanal situs berbagai video Youtube maupun situs-situs yang mengkhususkan diri mengulas tentang dunia selancar, kesaksian atau testimoni peselancar yang telah menjajal betapa ganasnya ombak di kepulauan Nias rata-rata memujinya serta merekomendasi agar dikunjungi dan rela kembali secara rutin bahkan beberapa peselancar profesional yang pernah berkunjung ke kepulauan Nias sangat fanatik, dalam hal ini “iri” memberitahukan kenikmatan yang didapat di kepulauan Nias yang mereka sebut sebagai “paradise island”, kelompok fanatik ini berharap ombak di kepulauan Nias beserta pantainya jangan sampai dieksplorasi berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan ekosistem yang ada. Potensi pariwisata di kepulauan Nias sejak tahun 1990an memang sudah digadang-gadang bakal menjadi Bali kedua di Indonesia bahkan kepulauan Nias dijuluki sebagai “Nusa Indah Andalan Sumatera”.

Puncak kejayaan pariwisata kepulauan Nias dimulai pada dekade tahun 1980an dan 1990an, ditandai dengan adanya kunjungan kapal pesiar disertai dengan kemunculan fasilitas pendukung seperti hotel berbintang. Pemerintah bersama masyarakat dan pelaku di bidang industri pariwisata mulai bekerja ekstra untuk mengemas agar pariwisata di kepulauan Nias diperhitungkan di tingkat nasional bahkan dunia, salah satunya dengan menyelenggarakan festival dengan nama “Pesta Ya`ahowu” yang dipusatkan di pantai Sorake dengan didukung oleh semua elemen masyarakat kepulauan Nias.

Atraksi budaya dari berbagai penjuru kepulauan  Nias ramai-ramai  berpartisipasi  dan unjuk  kebolehan  dalam  “Pesta Ya`ahowu”,  turis  asing kebagian  peran dengan  menjadi peserta kompetisi selancar  tingkat internasional  yang memang  dikemas bersamaan.  Hasilnya selain meningkatkan  kunjungan wisatawan, secara  tidak  langsung  melestarikan  berbagai budaya yang ada di tengah-tengah masyarakat kepulauan Nias bahkan di beberapa desa berdiri sanggar  budaya,  sesuatu  yang  sangat  positif. Namun,  hasil  dari  kerja keras tersebut  yang sepertinya akan mengalami  tren peningkatan kunjungan wisatawan baik wisatawan Nusantara maupun wisatawan mancanegara tiba-tiba  mengalami  kemunduran  signifikan  ketika  krisis moneter melanda Indonesia  pada  tahun  1998.  Sebuah kejadian  yang  membuat  industri pariwisata di kepulauan Nias terpuruk  ke titik nadir hingga kini.

Dalam kunjungan Presiden Republik Indonesia (RI) Bapak Ir. H. Joko Widodo atau yang lebih akrab disapa Jokowi di Kepulauan Nias (Jum`at, 19/08/2016), Presiden “mengukuhkan” dua potensi besar kepulauan Nias yang harus dikembangkan yakni pariwisata dan perikanan. “Saya lihat dari atas pas turun, potensi terbesar ada dua menurut saya. Pertama, pariwisata. Kedua, perikanan. Dua ini kita harus fokus,” tutur Presiden seperti dikutip dari setkab.go.id.

“Pengukuhan” Presiden  Jokowi  tersebut  seakan mengigatkan kembali kejayaan pariwisata kepulauan  Nias sebelum dihantam krisis  ekonomi pada tahun 1998. “Pengukuhan” Presiden agar pemerintah daerah di kepulauan  Nias untuk fokus saja di kedua sektor yakni pariwisata dan perikanan sangat masuk akal dan harus dijalankan secara serius dan konsisten, agar  semua  kebijakan  yang  terkait  dengan  pembangunan di kepulauan Nias disinkronisasi dengan kedua sektor tersebut. Sebagaimana  diketahui  bersama, potensi pariwisata Kepulauan Nias sangat beragam, tersebar di berbagai penjuru baik di pulau Nias sebagai pulau utama maupun pulau-pulau kecil di sekitarnya yang jumlahnya mencapai ratusan, sebut saja kepulauan Hinako di Nias Barat dengan potensi besar ada di sektor selancar, menyelam dengan danau di tengah pulau ditambah potensi di sektor perikanan dan perkebunan kopra. Sementara di kepulauan Batu yang berada di Nias Selatan tidak kalah menarik untuk dibahas bahkan disana diam-diam sudah ada cottage berbintang dengan tingkat pemesanan sangat tinggi.

Sebagai sebuah industri, dunia pariwisata tentunya harus ditunjang dengan berbagai fasilitas dasar seperti listrik, perhotelan dan kemudahan akses ke daerah tujuan wisata. Selain pengelolaan yang seakan minim perhatian selama ini, fasilitas dasar sebagai faktor pendukung yang kurang memadai semakin menambah keterpurukan industri pariwisata kepulauan Nias secara keseluruhan. Kedatangan Presiden Jokowi yang menjanjikan proyek listrik 25 Megawtt agar segera selesai pada Oktober 2016, kemudian pembahan daya 25 Megawatt lagi pada tahun 2017 serta pembangunan Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) dengan kapasitas 70 Kilo volt akan sangat membantu perekonomian warga kepulauan Nias termasuk industri yang menunja ng industri pariwisata.

Perpanjangan landasan pacu (runway) bandara Binaka yang ditargetkan menjadi 2800 Meter pada tahun akhir tahun 2017, dipastikan akan menarik  perhatian  maskapai untuk membuka  rute baru ke kepulauan Nias, misalnya Padang  –  Gunungsitoli, Jakarta – Gunungsitoli, Batam  – Gunungsitoli  bahkan Singapura – Gunungsitoli  (pulang  pergi). Perhatian Presiden atas sektor pariwisata dan perikanan  bagai oase atas ketertinggalan kepulauan Nias di berbagai sektor. Tidak  ketinggalan, keramahan penduduk lokal  di  kepulauan Nias  dalam  memperlakukan wisatawan mutlak diperlukan, sosialisasi dan pelatihan dari pihak  terkait  sangat  diperlukan. Masyarakat  dan pemerintah  harus  bahu-membahu  menunjukkan serta  memastikan bahwa kepulauan Nias aman dan layak dikunjungi.  Mari mendukung  bersama-sama agar pariwisata kepulauan Nias secara khusus dan perekonomiannya  secara umum  bangkit dari keterpurukan. Tentunya  harapan ini bakal segera terwujud bila didukung oleh berbagai elemen. Bila terwujud, impian  kepulauan  Nias  menjadi  “Andalan  Sumatera” atau  menjadi  Bali  kedua  bahkan menggeser Bali  sebagai destinasi  favorit wisatawan  bukan sesuatu hal yang  tidak mungkin terjadi...

About Kris Mendrofa

Lecturer. Blogger. Technopreneur. Traveller.

0 komentar:

Posting Komentar