Memaknai & Menghayati Sumpah Pemuda

Dulu: Nasionalisme, Kini: Sektarianisme?

Kita baru saja memperingati hari sumpah pemuda yang menjadi cikal bakal kesadaran para pemuda 81 yang lalu untuk bersatu membulatkan tekad bahwa kita bertumpah darah satu, berbangsa satu dan berbahasa satu bahasa Indonesia. Dengan pemikiran itulah maka negara ini berdiri dengan nama Negara Kesatuan Republik Indonesia. Uniknya (menurut saya) mungkin ketika itu defenisi bertumpah darah satu, berbangsa satu bahkan berbahasa satu sangat sulit digambarkan dan sangat kabur, coba bayangkan butir ketiga yaitu berbahasa satu bahasa Indoensia. Ketika itu mana ada yang namanya bahasa Indonesia? yang ada bahasa Melayu yang ketika itu menjadi bahasa pemersatu di nusantara ini, sementara masing-masing etnis mempunyai bahasa sendiri-sendiri.

Tapi kok mereka mau ya mengaku mempunyai bahasa satu? bahasa Indonesia pula! Tentunya para pemuda waktu itu mempunyai cita-cita yang sangat luhur dalam arti mereka rela berkorban, rela meninggalkan kenyamanan dan rela membuang ego dan kepentingan masing-masing dan mau menciptakan suatu “wadah” baru dengan “menciptakan” yang namanya Indonesia, menciptakan dan mengaku bertumpah darah satu, berbangsa satu dan berbahasa satu bahasa Indonesia.

Ketika semalam menonton MetroTV dalam program Save Our Nation yang menghadirkan nara sumber Pak Adnan Buyung Nasution, saya sangat menyukai salah satu pernyataan beliau yang menyatakan bahwa demokrasi itu bukan cuma setuju atau tidak setuju, bukan cuma mayoritas dan minoritas. Demokrasi yang kita jalankan sekarang ini (sebenarnya saya tidak suka mengatakan ini) adalah demokrasi yang kebablasan, demokrasi yang kita jalankan sekarang ini adalah demokrasi yang berdasarkan “suara/kepentingan” mayoritas, bukan demokrasi yang berdasarkan kepentingan bersama. Kepentingan mayoritas dan kepentingan bersama jelas makna dan penjabarannya beda donk…..

Singkatnya kepentingan mayoritas adalah kepentingan yang seakan-akan demokratis tapi sebenarnya melupakan esensi dari demokrasi itu sendiri. Kepentingan bersamalah yang harusnya kita pelihara, karena semua elemen ikut dilibatkan dan mendapatkan apa yang menjadi haknya. Esensi dari sumpah pemuda yang diikrarkan ketika itu adalah berdasarkan kepentingan bersama dan bukan berdasarkan kepentingan “demokratis” yang mayoritas tadi, kalau itu terjadi saya yakin dari dulu republik ini tidak akan berdiri.

Saya heran, di negara kita tercinta ini kok masih ada praktek-praktek yang menodai demokrasi? Contohnya: Kok orang yang mau mendirikan rumah ibadah harus diatur oleh SKB (surat Keterangan Bersama) 3 menteri? kok kalau akan mendirikan rumah ibadah harus meminta izin dalam bentuk tandatangan 200 warga sekitar agar rumah ibadah di lingkungan mereka bisa berdiri? apakah ini yang namanya demokrasi, pendirian rumah ibadah yang merupakan hak setiap warga negara harus ditentukan/diputuskan lewat voting terbanyak? dan kalau kalah voting maka rumah ibadah tersebut tidak jadi di bangun, mengerikan.

Saya merasa Republik ini sedang “diperebutkan” dan diarahkan untuk kepentingan kelompok tertentu, betapa tidak, sudah 200 lebih peraturan daerah (perda) sektarian yang jelas sudah melenceng dari cita-cita luhur pendiri bangsa ini bahwa negara ini berdiri diatas semua golongan dan kepentingan. Jakarta sebagai ibukota negara ini sudah dikelilingi oleh perda-perda sektarian, mungkin selangkah lagi (semoga tidak terjadi) di ibukota negeri ini akan berlaku perda sektarian juga dan kalau itu terjadi maka terbuka lebarlah bagi kelompok-kelompok terntentu yang menginginkan piagam Jakarta dijadikan sebagai landasan negara kita ini.

Dan kalau praktek-praktek yang tidak memperhatikan kepentingan bersama masih berlanjut, maka habis sudah yang namanya nasionalisme, nasionalisme akan tingggal jadi kenangan. Selamat hari sumpah pemuda, ayo bangkit pemuda Indonesia!

About Kris Mendrofa

Lecturer. Blogger. Technopreneur. Traveller.

0 komentar:

Posting Komentar