Filosofi Lompat Batu & Tari Perang

Pada hari Minggu (12/02/2017), pemuda-pemudi kepulauan Nias dari berbagai elemen yang tergabung dalam Pemuda Peduli Nias (PPN) akan mengadakan pagelaran budaya kepulauan Nias di lokasi car free day, tepatnya di Jl. Imam Bonjol (dekat Bundaran Hotel Indonesia) dalam format flash mob. Untuk mengetahui filosofi beberapa budaya kepulauan Nias, saya ulas di bawah ini.

Photo by: Travel.detik.com
Lompat Batu (istilah lokal: Hombo Batu) merupakan salah satu tradisi yang berasal dari kepulauan Nias, Sumatera Utara. Dilakukan oleh pemuda dengan cara melompati tumpukan batu setinggi 2 meter. Tradisi Lompat Batu awalnya muncul karena sering adanya perang antar kerajaan lokal di Nias. Dengan alasan keamanan, setiap kerajaan (kampung/banua) biasanya dibangun di atas bukit dan dilengkapi dengan benteng. Agar benteng tersebut bisa ditembus/dilompati, maka dibutuhkan keahlian/kekuatan khusus. Karena alasan keamanan, setiap kerajaan membuat tumpukan batu di tengah Desa yang digunakan untuk melatih fisik pemuda (prajurit) yang siap terjun di medan perang. Jadi, lompat batu bukan sebagai syarat untuk menikah ya, tetapi syarat untuk layak tidaknya suatu prajurit berperang!

Tari Perang (istilah lokal: Fatele/Faluaya/Maluaya) erat kaitannya dengan lompat batu. Dahulu, kerajaan-kerajaan lokal di kepulauan Nias sering berperang, baik perebutan lahan, kekuasaan bahkan berburu kepala manusia untuk dijadikan pajangan atau persembahan kepada bangsawan (kini sudah tidak ada). Setiap kerajaan (kampung) dipimpin oleh kepala suku atau Si`ulu (bangsawan). Demi mempertahankan kekuasaan dan ketentraman warga kampung dari serangangan pihak lain, setiap Si’ulu berinisiatif mengumpulkan pemuda desa untuk dilatih berperang. Sejarah mencatat, perlawanan sengit prajurit Nias mampu membuat Belanda beberapa kali dipukul mundur.

Layaknya kestria, penari perang mengenakan pakaian dengan warna hitam, kuning, merah dan terkadang menggunakan baju dari kulit kayu serta lempengan besi. Dilengkapi dengan mahkota di kepala dan alat pertahanan diri berupa perisai (baluse) di tangan kiri, pedang (tologu) yang diselipkan di pinggang dan tombak (toho) di tangan kanan. Sebagai tarian yang sarat dengan sejarah peperangan, tari perang lazim dipimpin oleh seorang komandan (kafalo zaluaya) yang menghadap prajurit, sementara posisi prajurit membentuk formasi 3 baris. Ketika komandan meneriakkan yel-yel pertanda peperangan dimulai, maka prajurit berteriak lancang, hu..... he! (yang menandakan prajurit siap berperang!).

Tari Mogaele (istilah lain: Sogaele) dilakukan oleh beberapa gadis, biasanya dilakukan dalam upacara tradisional, untuk menyambut bangsawan dan atau tamu yang dihormati bahkan dahulu dilakukan untuk menyambut prajurit yang pulang dari medan perang. Penari mengenakan baju khas Nias dengan perpaduan warna kuning dan merah, dilengkapi dengan kantong sirih (bola nafo), kemudian penari akan membagikan paket sirih tersebut kepada tamu yang dihormati. Selain sebagai wadah untuk menyimpan daun sirih, bola nafo berfungsi juga sebagai wadah untuk menyimpan emas atau barang berharga lainnya. Kini, bola nafo juga lazim digunakan dalam ritual pernikahan adat suku Nias.

About Kris Mendrofa

Lecturer. Blogger. Technopreneur. Traveller.

0 komentar:

Posting Komentar